Peristiwa ketegangan antar warga di kawasan Tanjungpura Pontianak yang
hampir saja membuahkan amuk massa atau kekerasan komunal pada hari di akhir tahun 2012 tentu saja sangat kita sayangkan. Meskipun sudah
dilakukan pertemuan perdamaian antar tokoh keduabelah etnis, hampir saja
kekerasan komunal terjadi lagi. Untunglah kepolisian bisa bertindak
sigap dan tegas sehingga gosip dan sentimen tidak menyebar. Namun sampai
kapan polisi sanggup memainkan perannya sebagai pemadam kebakaran
konflik yang ada di Kalimantan Barat jika isu-isu utama yang menjadi
akar konflik tersembunyi tetap tidak terselesaikan ?
Tak pelak lagi kasus perselisihan warga yang hampir menyeret konflik
etnis tersebut telah mengusik ingatan kita tentang kasus konflik etnis
antara tahun 1997-1999. Semua konflik yang melibatkan komunal selalu
dimulai oleh permasalahan-permasalahan yang terkesan sepele, yang kadang
tidak ada hubungannya dengan masalah etnis sekalipun. Namun dengan
cepat ia membakar sentimen keetnisan warganya dengan cepat, hingga
menjadi tidak terkendali.
Kasus Konflik Yang Terulang
Menilik
kasus-kasus konflik etnis di Kalimantan Barat, ini bukanlah kasus
perselisihan warga berbuah kekerasan komunal etnis yang pertama. Jika
melihat kebelakang kasus-kasus konflik etnis di Kalbar, kita akan
melihat pola kasus etnis yang serupa dan berulang. Meskipun dengan
variasi keterlibatan etnis yang berbeda. Tercatat misalnya pada masa
Hindia Belanda ada beberapa kasus konflik yang melibatkan etnis
Tionghoa, Dayak, dan Melayu. Kemudian pada masa setelah kemerdekaan pada
tahun 1950’an yang melibatkan etnis Tionghoa dan Melayu. Dan puncaknya
memang kasus konflik etnis tahun 1997- 1999 yang
melibatkan etnis Madura, Melayu, dan Dayak. Konflik etnis yang menelan
jiwa hingga ribuan nyawa melayang dan jutaan orang kehilangan tempat
tinggal dan hartanya. Sedikit banyak fakta ini menunjukkan bahwa Kalbar
memang rawan terhadap potensi-potensi konflik yang bersifat keetnisan.
Isu
konflik etnis sendiri dalam banyak kasus hanyalah bungkusan dari isu-isu
marginalitas dari rasa ketidakadilan dan ketidaksejajaran, baik dalam
domain politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Banyak sudah
penelitian yang membahas hal itu di Kalbar. Saya tidak berpretensi untuk
mengulasnya lebih jauh. Namun apabila permasalahan-permasalahan
tersebut tidak diagendakan untuk diselesaikan oleh pemerintah daerah di
Kalbar, maka dapat dipastikan konflik etnis yang ada di Kalbar suatu
saat akan muncul kembali dalam wujud ketidakpuasan yang berbeda. Etnis
dalam hal ini menjadi sentimen yang sangat mudah dipicu untuk
memwujudkan afiliasi-afiliasi politik seseorang.
Penyelesaian Konflik Yang Tidak Pernah Selesai
Seperti
layaknya kasus-kasus konflik yang melibatkan kekerasan komunal lainnya,
konflik etnis di Kalbar juga membawa dampak luar biasa pada
masyarakatnya. Dampak tersebut telah banyak membawa perubahan
yang sungguh luar biasa dalam masyarakat Kalimantan Barat. Sendi-sendi
kehidupan masyarakat Kalimantan Barat secara nyata tercapik-capik.
Masyarakat Kalimantan Barat yang tadinya dikenal harmonis dan tolerant
berubah menjadi masyarakat yang penuh kecurigaan kepada masing etnis.
Sayangnya
pemerintah nampaknya tidak mempunyai cukup perhatian untuk bagaimana
menata perdamaian agar dapat berkesinambungan. Kalaupun ada biasanya
hanya sampai sekedar slogan, atau tertinggal dalam kebijakan yang tidak
tahu kapan bagaimana mengimplementasikannya. Seperti penyelesaian
kasus-kasus konflik lainnya di Indonesia, pemerintah selalu menganggap
bahwa permasalahan konflik akan selesai ketika kesepakatan damai telah
tercapai dimeja perundingan oleh para eli-elit kelompok dan
penyelesaian untuk permaslahan pengungsi telah diatasi. Simak saja
beberapa kasus penyelesaian konflik yang ada di Indonesia. Misalnya
kasus Poso dan Maluku. Jalannya perdamaiannya tampak terhenti ditangan
pemerintah ketika kesepakatan damai antar relit telah ditandatangani dan
penyelesaian pengungsi, dengan pembangunan pemukiman dan pembagian
jatah hidup, telah terselesaikan. Persoalan-persoalan bagaimana menjaga perdamaian
agar berkesinambungan ini yang menurut hemat saya lebih banyak
dimaintain oleh kalangan CSO (Civil Society Organization), berikut
kalangan agamawan, dengan ide-ide pluralism dan multiculturalism, serta
pendidikan perdamaiannya.
Dalam
konteks Kalbar, pemerintah menganggap konflik telah selesai ketika para
pengungsi akibat konflik telah dipindah lokasi pemukiman baru Tebang
Kacang. Mereka tidak melihat bahwa perasaan-perasaan curiga, stereotype,
dan prasangka antara etnis masih berkembang ditingkat masyarakat
Kalbar. Masih adanya penolakan oleh kelompok etnis tertentu kepada
kelompok etnis yang lain di Kalbar untuk kembali ke asalnya hingga kini
masih terjadi. Permasalahan-permasalahan kejelasan hak para pengungsi
dan korban konflik etnis, terutama bagi etnis yang kalah, hingga kini
masih buram. Pemerintah daerah tidak mau secara terbuka membicarakan kasus-kasus tersebut secara terbuka. Dilain
sisi muncul dugaan bahwa pemerintah daerah mencoba untuk membatasi
ruang dialog antar etnis pada isu-isu tertentu karena alasan
sensitivitas isu yang ditakutkan akan menganggu stabilitas keamanan.
Salah
satu dampak yang timbul ditingkat publik adalah adanya
penolakan-penolakan dan keengganan sebagian masyarakat di Kalbar untuk
membicarakan isu-isu etnis secara terbuka untuk mencari penyelesaiannya.
Atau misalnya penolakan masyarakat Melayu diSambas yang hingga kini
menolak kembalinya masyarakat Madura di wilayah Sambas. Oleh
pemerintah sendiri kasus konflik antar sukubangsa ini dinyatakan telah
selesai dengan dipindahkannya para pengungsi ke tempat pemukiman baru
(Tebang Kacang). Namun permasalahannya tidak sesederhana itu. Banyak
persoalan dilapangan yang belum terselesaikan hingga saat ini. Seperti
misalnya bagaimana hak-hak milik para pengungsi di daerah asal (Sambas)
yang telah ditinggalkan dan pemulihan kehidupan mereka dilokasi
pengungsian yang menurut mereka lebih menyerupai lokasi pengucilan dari
kelompok masyarakat lainnya.
Ketakutan
akan mengganggu stabilitas keamanan yang juga akhirnya membentuk pola
pikir sebagian elit etnis dan pemerintah daerah setempat dalam
menyelesaikan konflik etnis yang akan timbul. Elit etnis segera
didatangkan untuk menenangkan massanya segera ketika ada kasus-kasus
yang kadang tidak berkaitan dengan etnis sekalipun. Namun
berapa cepat dan sanggupkah para elit tersebut mengontrol massanya
ketika mulai menunjukkan keberangusan ? sangat susah untuk diukur memang
keberhasilannya.