Jumat, 15 Februari 2013

Membawa-bawa Agama dalam konflik Etnic

"Dayak Non-Muslim Sweeping Umat Islam, Muslimah Dipaksa Buka Jilbab'

Ya begitulah judul berita dari sebuah surat kabar di Pontianak yang kira -kira  berisikan seperti berikut 

Diposting Kamis, 15-03-2012 | 20:29:54 WIB
Konflik antara Umat Islam dengan Suku Dayak mulai Kamis siang tadi (15/03/2012) kembali memanas malam ini. Oknum suku Dayak non muslim melakukan sweeping terhadap umat Islam di kawasan Pasar Tanjung Pura - Gajah Mada, Pontianak. "Malam ini (oknum-oknum_red) dayak kafir sweeping umat Islam di Pasar Tanjung Pura - Gajah Mada Pontianak," tulis Munarman melalui pesan singkat yang diterima MuslimDaily.Net, Kamis malam (15/03/2012).Menurut keterangan Munarman, para muslimah yang secara kebetulan lewat dipaksa membuka jilbab oleh oknum-oknum suku Dayak di Pontianak. 

"Para muslimah dipaksa buka jilbab. Akhirnya umat Islam bersatu melawan mereka sehingga 2 orang mengalami luka-luka dan satu tumbang dari para pengacau," kata Munarman. 
Sebagai respon umat Islam Pontianak, umat Islam kemudian bergantian melakukan sweeping terhadap oknum-oknum suku Dayak dan kelompok pengacau. 
"Kini Umat Islam sweeping para kafir pengacau. Doakan!" kata Munarman.
"Saat ini bukan hanya FPI saja yang turun melawan kafir, tapi umat Islam di Pontianak secara keseluruhan ikut serta," sambung Munarman masih melalui pesan singkat.
Seorang warga di daerah Wonodadi-Pontianak, kepada MuslimDaily.Net. Kamis malam (15/03/2012) membenarkan adanya kericuhan yang melibatkan oknum warga Dayak dengan umat Islam Pontianak. 
"Iya benar, memang ada ricuh tadi di daerah Pasar Tanjung Pura. Sudah biasa terjadi kok mas. Cuman malam ini memang sepertinya lebih besar dari biasanya. Dan sekarang jalan-jalan ditutup. Selebihnya saya tidak tahu karena saya tidak bisa keluar," kata salah seorang warga via telepon kepada MuslimDaily.Net. (muslimdaily)
Nah , dari informasi diatas dapat kita simpulkan bahwa adanya unsur keagamaan dalam konflik etnik di kalimanatan Barat dan hal itu dilakukan oleh generasi muda ( mahasiswa ).Seperti inikah pemuda masa depan Kalimantan Barat?
Apa yang seharusnya mereka lakukan sebagai pemimpin dimasa yang akan datang?

Sambas - Madura Belum Berdamai

Siapa yang tak pernah medengar akan adanya sebuah konflik besar di kalimantan barat tepatnya berada di daerah Sambas. Sambas merupakan daerah yang ada di Kalimantan Barat dimana rumpun melayu sebagai suku mayoritasnya . Konflik dipicu adanya suku Melayu dan Madura yang bertikai dengan menelan banyak korban jiwa , bangungan dihancurkan dan dihanguskan serta masih banyak lagi pelanggaran pelanggaran hak asasi manusia . Belum lagi korban pengungsi akibat konflik tersebut
Pertanyaanya , sudahkan mereka berdamai sekarang?Belum , antar kedua suku masih menyimpan dendam. Faktanya ,Suku Melayu di Sambas tidak merima suku Madura menginjakan kaki di bumi pertiwi mereka. Jika hal itu terjadi maka mereka tidak segan -segan memancung suku madura.
 Foto Perdamaian Melayu-Madura
Pertanyaan besarnya , Sebagai generasi Muda Kalimantan Barat , apakah kita hanya tinggal diam membiarkan semua hal ini terjadi ?
Tidak , kita harus ikut andil dalam permasalahan ini.Lalu bagaimana cara kita mengatasi permasalahan ini?

KONFLIK ETNIK DI KALIMANTAN BARAT

Peristiwa ketegangan antar warga di kawasan Tanjungpura Pontianak yang hampir saja membuahkan amuk massa atau kekerasan komunal pada hari di akhir tahun 2012 tentu saja sangat kita sayangkan. Meskipun sudah dilakukan pertemuan perdamaian antar tokoh keduabelah etnis, hampir saja kekerasan komunal terjadi lagi. Untunglah kepolisian bisa bertindak sigap dan tegas sehingga gosip dan sentimen tidak menyebar. Namun sampai kapan polisi sanggup memainkan perannya sebagai pemadam kebakaran konflik yang ada di Kalimantan Barat jika isu-isu utama yang menjadi akar konflik tersembunyi tetap tidak terselesaikan ?
Tak pelak lagi kasus perselisihan warga yang hampir menyeret konflik etnis tersebut telah mengusik ingatan kita tentang kasus konflik etnis antara tahun 1997-1999. Semua konflik yang melibatkan komunal selalu dimulai oleh permasalahan-permasalahan yang terkesan sepele, yang kadang tidak ada hubungannya dengan masalah etnis sekalipun. Namun dengan cepat ia membakar sentimen keetnisan warganya dengan cepat, hingga menjadi tidak terkendali.
 
Kasus Konflik Yang Terulang
Menilik kasus-kasus konflik etnis di Kalimantan Barat, ini bukanlah kasus perselisihan warga berbuah kekerasan komunal etnis yang pertama. Jika melihat kebelakang kasus-kasus konflik etnis di Kalbar, kita akan melihat pola kasus etnis yang serupa dan berulang. Meskipun dengan variasi keterlibatan etnis yang berbeda. Tercatat misalnya pada masa Hindia Belanda ada beberapa kasus konflik yang melibatkan etnis Tionghoa, Dayak, dan Melayu. Kemudian pada masa setelah kemerdekaan pada tahun 1950’an yang melibatkan etnis Tionghoa dan Melayu. Dan puncaknya memang kasus konflik etnis tahun 1997- 1999 yang melibatkan etnis Madura, Melayu, dan Dayak. Konflik etnis yang menelan jiwa hingga ribuan nyawa melayang dan jutaan orang kehilangan tempat tinggal dan hartanya. Sedikit banyak fakta ini menunjukkan bahwa Kalbar memang rawan terhadap potensi-potensi konflik yang bersifat keetnisan.
Isu konflik etnis sendiri dalam banyak kasus hanyalah bungkusan dari isu-isu marginalitas dari rasa ketidakadilan dan ketidaksejajaran, baik dalam domain politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Banyak sudah penelitian yang membahas hal itu di Kalbar. Saya tidak berpretensi untuk mengulasnya lebih jauh. Namun apabila permasalahan-permasalahan tersebut tidak diagendakan untuk diselesaikan oleh pemerintah daerah di Kalbar, maka dapat dipastikan konflik etnis yang ada di Kalbar suatu saat akan muncul kembali dalam wujud ketidakpuasan yang berbeda. Etnis dalam hal ini menjadi sentimen yang sangat mudah dipicu untuk memwujudkan afiliasi-afiliasi politik seseorang.

Penyelesaian Konflik Yang Tidak Pernah Selesai

Seperti layaknya kasus-kasus konflik yang melibatkan kekerasan komunal lainnya, konflik etnis di Kalbar juga membawa dampak luar biasa pada masyarakatnya. Dampak tersebut telah banyak membawa perubahan yang sungguh luar biasa dalam masyarakat Kalimantan Barat. Sendi-sendi kehidupan masyarakat Kalimantan Barat secara nyata tercapik-capik. Masyarakat Kalimantan Barat yang tadinya dikenal harmonis dan tolerant berubah menjadi masyarakat yang penuh kecurigaan kepada masing etnis.
Sayangnya pemerintah nampaknya tidak mempunyai cukup perhatian untuk bagaimana menata perdamaian agar dapat berkesinambungan. Kalaupun ada biasanya hanya sampai sekedar slogan, atau tertinggal dalam kebijakan yang tidak tahu kapan bagaimana mengimplementasikannya. Seperti penyelesaian kasus-kasus konflik lainnya di Indonesia, pemerintah selalu menganggap bahwa permasalahan konflik akan selesai ketika kesepakatan damai telah tercapai dimeja perundingan oleh para eli-elit kelompok dan penyelesaian untuk permaslahan pengungsi telah diatasi. Simak saja beberapa kasus penyelesaian konflik yang ada di Indonesia. Misalnya kasus Poso dan Maluku. Jalannya perdamaiannya tampak terhenti ditangan pemerintah ketika kesepakatan damai antar relit telah ditandatangani dan penyelesaian pengungsi, dengan pembangunan pemukiman dan pembagian jatah hidup, telah terselesaikan. Persoalan-persoalan bagaimana menjaga perdamaian agar berkesinambungan ini yang menurut hemat saya lebih banyak dimaintain oleh kalangan CSO (Civil Society Organization), berikut kalangan agamawan, dengan ide-ide pluralism dan multiculturalism, serta pendidikan perdamaiannya.
Dalam konteks Kalbar, pemerintah menganggap konflik telah selesai ketika para pengungsi akibat konflik telah dipindah lokasi pemukiman baru Tebang Kacang. Mereka tidak melihat bahwa perasaan-perasaan curiga, stereotype, dan prasangka antara etnis masih berkembang ditingkat masyarakat Kalbar. Masih adanya penolakan oleh kelompok etnis tertentu kepada kelompok etnis yang lain di Kalbar untuk kembali ke asalnya hingga kini masih terjadi. Permasalahan-permasalahan kejelasan hak para pengungsi dan korban konflik etnis, terutama bagi etnis yang kalah, hingga kini masih buram. Pemerintah daerah tidak mau secara terbuka membicarakan kasus-kasus tersebut secara terbuka. Dilain sisi muncul dugaan bahwa pemerintah daerah mencoba untuk membatasi ruang dialog antar etnis pada isu-isu tertentu karena alasan sensitivitas isu yang ditakutkan akan menganggu stabilitas keamanan.
Salah satu dampak yang timbul ditingkat publik adalah adanya penolakan-penolakan dan keengganan sebagian masyarakat di Kalbar untuk membicarakan isu-isu etnis secara terbuka untuk mencari penyelesaiannya. Atau misalnya penolakan masyarakat Melayu diSambas yang hingga kini menolak kembalinya masyarakat Madura di wilayah Sambas. Oleh pemerintah sendiri kasus konflik antar sukubangsa ini dinyatakan telah selesai dengan dipindahkannya para pengungsi ke tempat pemukiman baru (Tebang Kacang). Namun permasalahannya tidak sesederhana itu. Banyak persoalan dilapangan yang belum terselesaikan hingga saat ini. Seperti misalnya bagaimana hak-hak milik para pengungsi di daerah asal (Sambas) yang telah ditinggalkan dan pemulihan kehidupan mereka dilokasi pengungsian yang menurut mereka lebih menyerupai lokasi pengucilan dari kelompok masyarakat lainnya.
Ketakutan akan mengganggu stabilitas keamanan yang juga akhirnya membentuk pola pikir sebagian elit etnis dan pemerintah daerah setempat dalam menyelesaikan konflik etnis yang akan timbul. Elit etnis segera didatangkan untuk menenangkan massanya segera ketika ada kasus-kasus yang kadang tidak berkaitan dengan etnis sekalipun. Namun berapa cepat dan sanggupkah para elit tersebut mengontrol massanya ketika mulai menunjukkan keberangusan ? sangat susah untuk diukur memang keberhasilannya.

Kamis, 07 Februari 2013

This About Generation Change and Viral Peace

 GENERATION CHANGE
Generation Change is a youth-led global network dedicated to empowering the next generation of innovators and leaders. It provides a platform for the free exchange of ideas across borders and cultures, and a community of peers and mentors who use their collective resources to positively impact communities locally and globally. Generation Change hopes to build a strong network of young leaders who are positively influencing their communities now and will continue doing so in the years to come. This network can provide a forum for exchanging ideas and creating projects that can have impact on a global scale, both through offline events and online connections. United States Secretary of State Hillary Clinton has declared members of Generation Change in the United States “unofficial ambassadors on behalf of our country.”
VIRAL PEACE
The program, called Viral Peace, seeks to occupy the virtual space that extremists fill, one thread or Twitter exchange at a time. Shahed Amanullah, a senior technology adviser to the State Department and Viral Peace’s creator, tells Danger Room he wants to use “logic, humor, satire, [and] religious arguments, not just to confront [extremists], but to undermine and demoralize them.” Think of it as strategic trolling, in pursuit of geopolitical pwnage.